-->

Pemberontakan G 30 S/PKI dan Cara Penumpasannya

Pemberontakan G 30 S/PKI dan Cara Penumpasannya, Cara PKI mendapatkan dukungan, Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi Penumpasan G 30 S/PKI.

Pemberontakan G 30 S/PKI

Tantangan yang dihadapi NKRI ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis ekonomi nasional merupakan peluang paham komunis untuk berkembang.

Prinsip Nasakom yang dilaksanakan pada waktu itu memberi keempatan kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya.

Melihat kondisi ekonomi yang memprihatinkan serta kondisi sosial politik yang penuh dengan gejolak pada awal tahun 1960-an maka PKI berusaha menyusun kekuatan dan melakukan pemberontakan.

Cara PKI mendapatkan dukungan

Sebelum melakukan pemberontakan, PKI melakukan berbagai cara agar mendapat dukungan yang luas di antaranya sebagai berikut.

(1) PKI menyatakan dirinya sebagai pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji akan menaikkan gaji dan upah buruh, pembagian tanah dengan adil, dan sebagainya.

(2) Pada akhir tahun 1963 PKI melakukan “Aksi Sepihak” terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera Utara.

(3) PKI juga mencari pendukung dari berbagai kalangan mulai dari para petani, buruh kecil, pegawai rendahan baik sipil maupun militer, seniman, wartawan,guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.

(4) Pengaruh PKI yang besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, semua organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti pemerintah. Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai organisasi para seniman dibubarkan pemerintah pada bulan Mei 1964.

Kebijakan politik luar negeri RI pada waktu itu lebih condong ke Blok Timur yakni dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking.

(5) Memasuki tahun 1965 PKI melempar desas-desus adanya “Dewan Jenderal”dari dalam tubuh Angkatan Darat.

Menurut PKI bahwa Dewan Jenderal ini akan mengambil alih kekuasaan secara paksa dengan bantuan Amerika Serikat. Tuduhan ini dibantah oleh Angkatan Darat, sebaliknya PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan.

Puncak ketegangan politik terjadi secara nasional pada dini hari tanggal 30 September 1965 atau awal tanggal 1 Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat.

Penculikan ini dilakukan oleh sekelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September. Aksi ini di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon I Cakrabirawa.

Para pimpinan TNI AD yang diculik dan dibunuh oleh kelompok G 30 S/ PKI tersebut adalah sebagai berikut.
  • Letnan Jenderal Ahmad Yani.
  • Mayor Jenderal R. Suprapto.
  • Mayor Jenderal Haryono MT.
  • Mayor Jenderal S. Parman.
  • Brigadir Jenderal DI. Panjaitan.
  • Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
  • Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Dalam peristiwa tersebut Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Kompartemen Hankam/ Kepala Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan diri dari pembunuhan akan tetapi putri beliau, Irma Suryani Nasution tewas akibat tembakan para penculik. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution juga tewas dalam peristiwa tersebut.

Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban keganasan PKI.

Peristiwa pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi di Yogyakarta mengakibatkan gugurnya dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso Dharmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono.

Pada hari Jum’at pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “ telah menguasai dua buah sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat, Jakarta dan Kantor PN Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan.

Melalui RRI pagi itu pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September.

Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada jenderal- jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Dengan pengumuman ini maka masyarakat menjadi bingung.

Menghadapi situasi politik yang panas tersebut Presiden Sukarno berangkat menuju Halim Perdanakusumah, dan segera mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Mayor Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil alih komando Angkatan Darat, karena belum adanya kepastian mengenai Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat Menteri Panglima Angakatan Darat.

Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi Penumpasan G 30 S/PKI

Dengan menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi, dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi Wibowo, panglima Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 September.

Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.

(1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 operasi untuk merebut kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar pukul 19.00. Dalam sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil tanpa hambatan.

Selanjutnya Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan lewat RRI yang isinya sebagai berikut.
  • Adanya usaha usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
  • Telah diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.
  • Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.
  • Kepada rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.

(2) Menjelang sore hari pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang dilakukan oleh RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan Batalyon 328 Para Kujang.

Operasi ini berhasil menguasai beberapa tempat penting dapat mengambil alih beberapa daerah termasuk daerah sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang menjadi pusat kegiatan Gerakan 30 September.

(3) Dalam operasi pembersihan di kampung Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk seorang anggota polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman diketemukan sebuah sumur tua tempat jenazah para perwira Angkatan Darat dikuburkan.

Mereka yang menjadi korban kebiadaban PKI tersebut mendapat penghargaan sebagai pahlawan revolusi.

Ketika gerakan 30 September ini menyadari tidak adanya dukungan dari masyarakat maupun anggota angkatan bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung Gerakan 30 September termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit segera melarikan diri.

Dengan demikian masyarakat semakin mengetahui bahwa Gerakan 30 September yang sebenarnya melakukan pengkhianatan terhadap negara ini.

Baca Juga : Keadaan Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebelum Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI
LihatTutupKomentar