-->

Hukum Perempuan Yang Suka Bersolek

Hukum Wanita yang Suka Bersolek

 satu kata ini biasanya amatlah identik dengan perempuan Hukum Wanita yang Suka Bersolek
Gambar

Artikel Buletin Zuhairah
Penulis: Nurul Dwi Sabtia S.IP

Berhias, satu kata ini biasanya amatlah identik dengan wanita. Bagaimana tidak, perempuan identik dengan kata cantik. Guna mendapat predikat bagus inilah, seorang perempuan pun berhias. Namun tahukah engkau wahai saudariku muslimah, bahwa Islam telah mengajarkan pada kita bagaimana cara berhias yang syar’i bagi seorang wanita? Sungguh Islam yakni agama yang sempurna. Islam tidak sepenuhnya melarang seorang perempuan ‘tuk berhias, justru ia mengajarkan cara berhias yang baik tanpa harus merugikan, apalagi merendahkan martabat perempuan itu sendiri.

Saudariku muslimah yang dirahmati Allah, bergotong-royong Allah ta‘ala berfirman

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A‘raaf, 7: 31).

Dari ayat di atas, tampaklah bahwa kebolehan untuk berhias ada pada laki-laki dan wanita. Namun ketahuilah saudariku, ada sisi perbedaan pada aturan sesuatu yang dipakai untuk berhias dan keadaan berhias antara kedua kaum tersebut. Dalam bahasan ini, kita hanya mendiskusikan perihal kaidah berhias bagi wanita.

Larangan Tabarruj

Adapun kaidah pertama yang harus diperhatikan bagi perempuan yang hendak berhias yakni hendaknya ia menghindari perbuatan tabarruj. Tabarruj secara bahasa diambil dari kata al-burj (bintang, sesuatu yang terang, dan tampak). Di antara maknanya yakni berlebihan dalam menampakkan aksesori dan kecantikan, seperti: kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis, dan anggota tubuh lainnya, atau menampakkan aksesori tambahan. Imam asy-Syaukani berkata, “At-Tabarruj yakni dengan seorang perempuan menampakkan sebagian dari aksesori dan kecantikannya yang (seharusnya) wajib untuk ditutupinya, yang mana sanggup memancing syahwat (hasrat) laki-laki” (Fathul Qadiir karya asy- Syaukani).

Allah ta‘ala berfirman (yang artinya),

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى

“Dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kau berhias dan bertingkah laris mirip orang-orang jahiliyah yang dahulu …” (QS. Al-Ahzaab, 33: 33).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa‘di dikala menafsirkan ayat di atas, dia berkata, “Arti ayat ini: janganlah kalian (wahai para wanita) sering keluar rumah dengan berhias atau menggunakan wewangian, sebagaimana kebiasaan wanita-wanita jahiliyah yang dahulu, mereka tidak mempunyai pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini dalam rangka mencegah keburukan (bagi kaum wanita) dan sebab-sebabnya” (Taisiirul Kariimir Rahmaan karya Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa‘di).

Memperhatikan Masalah Aurat

Kaidah kedua yang hendaknya engkau perhatikan wahai saudariku, seorang perempuan yang berhias hendaknya ia paham mana anggota tubuhnya yang termasuk aurat dan mana yang bukan. Aurat sendiri yakni celah dan cela pada sesuatu, atau setiap hal yang butuh ditutup, atau setiap apa yang dirasa memalukan apabila nampak, atau apa yang ditutupi oleh insan lantaran malu, atau ia juga berarti kemaluan itu sendiri (al-Mu‘jamul Wasith).
Lalu, mana saja anggota tubuh perempuan yang termasuk aurat? Pada asalnya secara umum perempuan itu yakni aurat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita itu aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya) setan senantiasa mengintainya” (HR Tirmidzi, dinilai shahih oleh al-Albani).

Namun terdapat perincian terkait aurat perempuan dikala ia di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, di hadapan perempuan lain, atau di hadapan mahramnya.

Adapun aurat perempuan di hadapan laki-laki yang bukan mahram yakni seluruh tubuhnya. Hal ini sudah merupakan ijma‘ (kesepakatan) para ulama. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat diantara ulama terkait apakah wajah dan kedua telapak tangan termasuk aurat kalau di hadapan laki-laki non mahram.
Sedangkan aurat perempuan di hadapan perempuan lain yakni anggota-anggota tubuh yang biasa diberi perhiasan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

“Tidak boleh seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lainnya, dan tidak boleh seorang perempuan melihat aurat perempuan lainnya” (Hadits shahih Riwayat Muslim, dari Abu Sa‘id al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu).

Syaikh al-Albani mengatakan, “Sedangkan perempuan muslimah di hadapan sesama perempuan muslimah maka perempuan yakni aurat kecuali potongan tubuhnya yang biasa diberi perhiasan. Yaitu kepala, telinga, leher, potongan atas dada yang biasa diberi kalung, hasta dengan sedikit lengan atas yang biasa diberi hiasan lengan, telapak kaki, dan potongan bawah betis yang biasa diberi gelang kaki. Sedangkan potongan tubuh yang lain yakni aurat, tidak boleh bagi seorang muslimah demikian pula mahram dari seorang perempuan untuk melihat bagian-bagian tubuh di atas dan tidak boleh bagi perempuan tersebut untuk menampakkannya.”

Adapun perihal batasan aurat seorang perempuan di hadapan mahramnya, secara garis besar ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) perihal batasan ini. Pertama, pendapat yang menyampaikan bahwa aurat perempuan di hadapan laki-laki mahramnya yakni antara pusar sampai lutut. Sedangkan pendapat kedua mengatakan, bahwa aurat perempuan di hadapan laki-laki mahramnya yakni sama dengan aurat perempuan di hadapan perempuan lain, yakni semua potongan tubuh kecuali yang biasa diberi perhiasan.

Penulis mencukupkan diri dengan pendapat yang lebih rajih (kuat) dari Syaikh al-Albani bahwa aurat perempuan di hadapan laki-laki mahramnya yakni sama sebagaimana aurat perempuan di hadapan perempuan lain, yakni seluruh tubuhnya kecuali bagian-bagian yang biasa diberi perhiasan.

Dalilnya yakni firman Allah ta‘ala :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Katakanlah kepada perempuan yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakka perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka,atau wanita-wanita mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai cita-cita (terhadap wanita) atau belum dewasa yang belum mengerti perihal aurat wanita.’” (QS. An-Nuur, 24: 31).
Allahu a‘lam.

Adapun untuk aurat perempuan (istri) di hadapan suaminya, maka ulama setuju bahwa tidak ada aurat antara seorang istri dan suami. Dalilnya yakni firman Allah ta‘ala :

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٢٩)إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٣٠)

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka bergotong-royong mereka dalam hal ini tidak tercela.”  (QS. Al-Ma‘aarij, 70: 29-30)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melaksanakan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi aksesori istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk menikmati aksesori dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya.

Memperhatikan Cara Berhias yang Dilarang

Maka kalau sudah tak ada lagi aurat antara suami dan istri, hendaknya seorang perempuan (istri) berhias semenarik mungkin di hadapan suaminya. Seorang istri hendaknya berhias untuk suaminya dalam batasan-batasan yang disyari‘atkan. Karena setiap kali si istri berhias untuk tampil indah di hadapan suaminya, terperinci hal itu akan lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan akan lebih merekatkan hubungan antara keduanya.

Hal ini termasuk diantara tujuan syari‘at. Bukankah salah satu ciri istri yang baik yakni yang menyenangkan dikala dipandang, wahai saudariku? Adapun bentuk-bentuk berhiasnya sanggup dengan bermacam-macam. Mulai dari menjaga kebersihan badan, menyisir rambut, mengenakan wewangian, mengenakan baju yang menarik, mencukur bulu kemaluan, dll.

Namun yang hendaknya dicamkan seorang istri yakni hendaknya ia berhias dengan sesuatu yang hukumnya mubah (bukan dari materi yang haram) dan tidak memudharatkan. Tidak diperbolehkan pula untuk berhias dengan cara yang dihentikan oleh Islam, yaitu:

•    Menyambung rambut (al-washl)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat penyambung rambut dan orang yang minta disambung rambutnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

•    Menato tubuh (al-wasim), mencukur alis (an-namsh), dan mengikir gigi (at-taflij)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menato dan perempuan yang minta ditato, perempuan yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan yang minta dicukur, serta perempuan yang meregangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

•    Mengenakan wewangian bukan untuk suaminya (ketika keluar rumah)Baginda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap perempuan yang menggunakan wewangian, lalu ia keluar dan melewati sekelompok insan semoga mereka sanggup mencium anyir harumnya, maka ia yakni seorang pezina, dan setiap mata itu yakni pezina.” (Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, dan al-Hakim dari jalan Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu)

•    Memanjangkan kuku Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang termasuk fitrah insan itu ada lima (yaitu): khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

•     Berhias mirip kaum lelaki“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupakan diri mirip perempuan dan melaknat perempuan yang menyerupakan diri mirip laki-laki.” (Riwayat Bukhari). Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi.

Wahai Saudariku, sungguh Allah ta‘ala yang mensyari‘atkan hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi para hamba-Nya dan Dia-lah yang mensyari‘atkan bagi mereka hukum-hukum agama yang sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap zaman dan tempat. Maka, sudah sepantasnya bagi kita perempuan muslimah untuk taat lagi tunduk kepada syari‘at Allah, termasuk di dalamnya aturan untuk berhias.

Dari pemaparan diatas dapatlah kita ambil kesimpulan “Hukum Wanita yang Suka Bersolek” terdapat beberapa hukum, yaitu:

1.    Sunnah mu’akkadah, (disunnahkan/dianjurkan) bagi perempuan yang telah bersuami, semata-mata ia bersolek hanya untuk suaminya saja.
2.    Mubah, (boleh) dengan tidak berlebih-lebihan sehingga menjadikan fitnah.
3.    Haram, kalau tujuannya untuk memikat laki-laki semoga terpengaruhi padanya, sehingga menjadikan banyak kemadhorotan.

Allahu a’lam bishshoab.

***

Maraji’:


•    Al-Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin. Adaab az-Zifaaf [Terj]. Media Hidayah.
•    Majmu‘ah Minal ‘Ulama. Fatwa-Fatwa Tentang Wanita. Darul Haq.
•    Syabir,Dr. Muhammad Utsman. Fiqh Kecantikan. Pustaka at-Tibyan.
•    Razzaq, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir. Panduan Lengkap Nikah dari “A” Sampai “Z”. Pustaka Ibnu Katsir.
•    Al-‘Utsaimin,Syaikh Muhammad. Shahih Fikih Wanita. Akbar Media.



LihatTutupKomentar